Berikut Pandangan Masyarakat Mengenai Kebaikan Sistem Zonasi dalam PPDB 2018
Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.
Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.
Kendikbud --- Melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kebijakan tersebut menuai respons dari berbagai kalangan masyarakat. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Sutradara terkenal Hanung Bramantyo adalah salah satu tokoh masyarakat yang setuju atas kebijakan zonasi.
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengutarakan bahwa salah satu tujuan diterapkannya sistem zonasi dalam PPDB adalah untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai sekolah favorit. “Ke depan tidak ada lagi sekolah favorit atau bukan favorit. Hal inilah yang menciptakan ‘sistem kasta’. Nantinya semua sekolah akan memiliki kualitas yang sama,” ujar Mendikbud.
Terkait hal itu, melalui akun media sosialnya, Hanung Bramantyo menceritakan pengalamannya saat masih usia sekolah. Ia ingin masuk sekolah favorit yang memiliki ekstrakurikuler Drama atau Seni Teater yang bagus. Sayang, ayah Hanung menyekolahkannya ke sekolah lain yang menurut Hanung, anti-seni. Ia pun protes. Namun, ayahnya berkata, “Hei, Nak! Kalau sekolahmu tidak ada teaternya, ya kamu bikin! Jangan malah ngambek. Ajari teman-temanmu biar menyukai keinginanmu”.
Termotivasi dari ucapan ayahnya itu, Hanung kemudian membentuk ekstrakurikuler Teater dan berhasil meraih juara di Festival Teater SMA. “Berat sih. Tapi menyenangkan,” tulisannya dalam status Facebook nya, Hanung Bramantyo Anugroho. Status tersebut diunggahnya kemarin, Minggu (8/7/2018), pukul 02.15 WIB.
Hanung juga menulis, ayahnya mengajarkan bahwa diri kitalah yang membuat sebuah tempat menjadi favorit, bukan justru mencari sekolah favorit. Ia pun berniat mengajak anak-anaknya bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumah. “Sebelum Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan zonasi sekolah, saya sudah dididik oleh Bapak saya untuk selalu menciptakan sekolah favorit sendiri di rumah. Karena pendidikan yang paling utama adalah di rumah. Di tengah keluarga. Buat Pak Menteri Muhadjir, lanjutkan perjuangan Anda, Pak. Bismillah! Tidak mudah memegang amanah di negeri ini,” tulis Hanung.
Seorang pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, membuat sebuah artikel opini di media cetak nasional berjudul “Tantangan Kebijakan Zonasi”. Dalam artikelnya Doni mengatakan, di banyak negara, kebijakan zonasi bisa mengurangi beban biaya pendidikan di masyarakat, terutama biaya transportasi. Namun, bukan sekadar dimensi ekonomis, ada dimensi lain, yaitu keadilan dalam merasakan kualitas pendidikan, kesehatan fisik, dan integritas keluarga, yaitu memperkuat ikatan orang tua dan anak dalam proses pendidikan.
“Sistem zonasi memungkinkan siswa memperoleh akses dan kualitas pendidikan yang sama secara adil,” tulis Doni dalam artikelnya yang dimuat di Media Indonesia, Senin, (9/7/2018). Menurutnya, prinsip pendidikan berkeadilan harus ditopang oleh kolaborasi dan partisipasi dari para pelaku dalam ekosistem pendidikan, baik itu di lingkungan Kemendikbud, maupun pemerintah daerah. Kebijakan otonomi daerah selama ini lebih sering menjadi penghambat daripada pendukung implementasi kebijakan pendidikan nasional. “Padahal, keberhasilan pendidikan membutuhkan topangan dari pemerintah daerah,” tulis Doni yang juga seorang dosen di Universitas Multimedia Nusantara.
Respons positif mengenai kebijakan zonasi dalam PPDB tidak hanya datang dari tokoh masyarakat atau pemerhati pendidikan, melainkan juga dari masyarakat umum, seperti pengikut (follower) akun media sosial Kemendikbud. Di Instagram @kemdikbud.ri , akun bernama @mutiara.noviani.20 menulis opininya di kolom komentar. “Sebenarnya sih, sekolah di mana saja itu sama. Intinya ya sama-sama menuntut ilmu. Jangan tergantung pada sekolahnya yang favorit atau tidak. Justru kita juga bisa menjadikan sekolah kita menjadi favorit dengan prestasi kita,” tulisnya. Ia juga mengaku sempat merasa agak kecewa karena tidak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, tapi baginya tidak masalah.
Pengikut akun media sosial Kemendikbud yang lain, atas nama @erfandios68 , menyemangati Kemendikbud atas kebijakan zonasi. Ia pun mengajak semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, baik pemerintah, guru, orang tua, agar bahu-membahu menjadikan semua sekolah menjadi favorit bagi semua anak didik. “Kalau bukan dari sekarang, kapan lagi? Demi kemajuan bangsa,” tulisnya.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB, disebutkan ada beberapa tujuan dari sistem zonasi, di antaranya menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa, dan mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga. Sistem zonasi juga bertujuan menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri, dan mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen. Untuk pemerintah daerah, sistem zonasi dapat membantu pemda dalam memberikan bantuan/afirmasi agar lebih tepat sasaran, baik berupa sarana dan prasarana sekolah maupun peningkatan kualitas pendidik.
Sumber https://www.intipendidikan.com/Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengutarakan bahwa salah satu tujuan diterapkannya sistem zonasi dalam PPDB adalah untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai sekolah favorit. “Ke depan tidak ada lagi sekolah favorit atau bukan favorit. Hal inilah yang menciptakan ‘sistem kasta’. Nantinya semua sekolah akan memiliki kualitas yang sama,” ujar Mendikbud.
Terkait hal itu, melalui akun media sosialnya, Hanung Bramantyo menceritakan pengalamannya saat masih usia sekolah. Ia ingin masuk sekolah favorit yang memiliki ekstrakurikuler Drama atau Seni Teater yang bagus. Sayang, ayah Hanung menyekolahkannya ke sekolah lain yang menurut Hanung, anti-seni. Ia pun protes. Namun, ayahnya berkata, “Hei, Nak! Kalau sekolahmu tidak ada teaternya, ya kamu bikin! Jangan malah ngambek. Ajari teman-temanmu biar menyukai keinginanmu”.
Termotivasi dari ucapan ayahnya itu, Hanung kemudian membentuk ekstrakurikuler Teater dan berhasil meraih juara di Festival Teater SMA. “Berat sih. Tapi menyenangkan,” tulisannya dalam status Facebook nya, Hanung Bramantyo Anugroho. Status tersebut diunggahnya kemarin, Minggu (8/7/2018), pukul 02.15 WIB.
Hanung juga menulis, ayahnya mengajarkan bahwa diri kitalah yang membuat sebuah tempat menjadi favorit, bukan justru mencari sekolah favorit. Ia pun berniat mengajak anak-anaknya bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumah. “Sebelum Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan zonasi sekolah, saya sudah dididik oleh Bapak saya untuk selalu menciptakan sekolah favorit sendiri di rumah. Karena pendidikan yang paling utama adalah di rumah. Di tengah keluarga. Buat Pak Menteri Muhadjir, lanjutkan perjuangan Anda, Pak. Bismillah! Tidak mudah memegang amanah di negeri ini,” tulis Hanung.
Seorang pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, membuat sebuah artikel opini di media cetak nasional berjudul “Tantangan Kebijakan Zonasi”. Dalam artikelnya Doni mengatakan, di banyak negara, kebijakan zonasi bisa mengurangi beban biaya pendidikan di masyarakat, terutama biaya transportasi. Namun, bukan sekadar dimensi ekonomis, ada dimensi lain, yaitu keadilan dalam merasakan kualitas pendidikan, kesehatan fisik, dan integritas keluarga, yaitu memperkuat ikatan orang tua dan anak dalam proses pendidikan.
“Sistem zonasi memungkinkan siswa memperoleh akses dan kualitas pendidikan yang sama secara adil,” tulis Doni dalam artikelnya yang dimuat di Media Indonesia, Senin, (9/7/2018). Menurutnya, prinsip pendidikan berkeadilan harus ditopang oleh kolaborasi dan partisipasi dari para pelaku dalam ekosistem pendidikan, baik itu di lingkungan Kemendikbud, maupun pemerintah daerah. Kebijakan otonomi daerah selama ini lebih sering menjadi penghambat daripada pendukung implementasi kebijakan pendidikan nasional. “Padahal, keberhasilan pendidikan membutuhkan topangan dari pemerintah daerah,” tulis Doni yang juga seorang dosen di Universitas Multimedia Nusantara.
Respons positif mengenai kebijakan zonasi dalam PPDB tidak hanya datang dari tokoh masyarakat atau pemerhati pendidikan, melainkan juga dari masyarakat umum, seperti pengikut (follower) akun media sosial Kemendikbud. Di Instagram @kemdikbud.ri , akun bernama @mutiara.noviani.20 menulis opininya di kolom komentar. “Sebenarnya sih, sekolah di mana saja itu sama. Intinya ya sama-sama menuntut ilmu. Jangan tergantung pada sekolahnya yang favorit atau tidak. Justru kita juga bisa menjadikan sekolah kita menjadi favorit dengan prestasi kita,” tulisnya. Ia juga mengaku sempat merasa agak kecewa karena tidak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, tapi baginya tidak masalah.
Pengikut akun media sosial Kemendikbud yang lain, atas nama @erfandios68 , menyemangati Kemendikbud atas kebijakan zonasi. Ia pun mengajak semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, baik pemerintah, guru, orang tua, agar bahu-membahu menjadikan semua sekolah menjadi favorit bagi semua anak didik. “Kalau bukan dari sekarang, kapan lagi? Demi kemajuan bangsa,” tulisnya.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB, disebutkan ada beberapa tujuan dari sistem zonasi, di antaranya menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa, dan mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga. Sistem zonasi juga bertujuan menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri, dan mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen. Untuk pemerintah daerah, sistem zonasi dapat membantu pemda dalam memberikan bantuan/afirmasi agar lebih tepat sasaran, baik berupa sarana dan prasarana sekolah maupun peningkatan kualitas pendidik.
Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.
0 comments:
Post a Comment