Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts
Wednesday, July 24, 2019

Memahami Permendikbud No. 16 Tahun 2019 Tentang Penataan Linieritas Guru Bersertifikat Pendidik

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.


Assalaamu'alaikum Sahabat Hanapibani.com

Setelah beredarnya Surat Edaran dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama  mengenai pengelolaan Simpatika periode Semester 1 (Ganjil) di Tahun Pelajaran 2019/2020 (Unduh DISINI). Disana pada point 1 disebutkan akan diimplementasikannya Permendikbud Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Linieritas Guru Bersertifikat. (Unduh DISINI)

Permendikbud ini sebenarnya sudah mulai berlaku pada tanggal diundangkan (23 Mei 2019). Permendikbud Nomor 16 Tahun 2019 ini merupakan Permendikbud tentang Perubahan Atas peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2016 tentang Penataan Linieritas Guru Bersertifikat Pendidik. Namun penerapannya pada SIMPATIKA baru akan dilaksanakan pada Semester 1 Tahun ajaran 2019/2020 ini.

Menyikapi ini berbagai tanggapan, opini, pemahaman serta kekhawatiranpun bermunculan di kalangan guru madrasah. Yang paling banyak ditanyakan yakni mengenai status guru yang bersertifikat pendidik namun tidak linier dengan ijazah yang dimilikinya. Mereka khawatir jikalau dengan berlakunya permendikbud ini akan mengakibatkan statusnya yang semula linier menjadi tidak linier sehingga tidak layak mendapatkan tunjangan profesi guru.

Padahal menurut hemat kami, kekhawatiran guru madrasah yang antara sertifikat pendidik dan ijazah S1/DIV-nya tidak linier, tampaknya terlalu berlebihan. Dalam Permendikbud dan lampirannya ini tidak terdapat aturan yang mengharuskan guru yang telah bersertifikat pendidik harus linier antara bidang studi sertifikatnya dengan program studi ijazah. Asalkan mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan sertifikat pendidik maka itu berarti sudah dikatakan linier dan layak mendapatkan tunjangan.

Bahkan malah permendikbud ini dapat dianggap bisa mempermudah bagi guru bersertifikat masing-masing bidang keilmuan (mata pelajaran) karena dapat diampu oleh berbagai kode dan bidang studi yang beragam. Sebagai contoh, dalam Permendikbud sebelumnya guru kelas SD/MI hanya linier oleh sertifikat pendidik berkode 027, 047, dan 084. Namun dalam Permendikbud No. 16 Tahun 2019 ini linier dengan kode 027, 028, 047, 050, 054, 057, dan 060. Bahkan guru yang memiliki sertifikat 084, 087, 094, 097, 100,114, 117,120, 124, 154, 156, 180, 184, 187, 190, 204, 207, 210, 214, 215, 310, 318, 319, 320, 321, dan 504 dapat pindah dan mengajar sebagai guru kelas di SD.

Sehingga kami beranggapan bahwa guru yang sudah bersertifikat pendidik guru kelas MI (kode bidang studi sertifikasi 028) akan tetap linier mengajar sebagai guru kelas meski ijazah S1/DIV yang dimiliki dari prodi Pendidikan Agama Islam, Tadris Matematika, atau lainnya. Pun seumpama telah memiliki sertifikat pendidik Bahasa Indonesia (156 atau 087) meskipun ijazah S1 yang dimiliki dari prodi Pendidikan Sejarah, akan tetap linier mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP/MTs.

Linieritas antara sertifikat dengan ijazah, bagi yang sudah memiliki sertifikat pendidik, tentunya berbeda dengan linieritas kualifikasi pendidikan bagi yang baru akan mendaftar sertifikasi guru yakni syarat mengikuti PPG.

Akhirnya, kami berkesimpulan bahwa Permendikbud No. 16 Tahun 2019 Tentang Penataan Linieritas Sertifikat Pendidik terbaru ini, kekhawatiran para guru madrasah atas nasib sertifikat pendidik yang dimilikinya tidak perlu dirisaukan. Bahkan sebaliknya, Permendikbud No. 16 Tahun 2019 memberikan kemudahan dan solusi bagi guru-guru yang selama ini bermasalah dengan linieritas sertifikat pendidiknya.


Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Sunday, April 21, 2019

MERAYAKAN HARI KARTINI BERSAMA KARTONO, TAPI KARTONO ITU SIAPA YA?

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.

Perayaan Hari Kartini sering kali diwarnai dengan lomba Kartini MERAYAKAN HARI KARTINI BERSAMA KARTONO, TAPI KARTONO ITU SIAPA YA?


Perayaan Hari Kartini sering kali diwarnai dengan lomba Kartini-Kartono. Tapi, pernah nggak, sih, kamu kepo soal Kartono yang misterius ini?

Kalau Raden Ajeng Kartini masih hidup hingga hari ini dan ikut merayakan Hari Kartini setiap tahunnya, hal pertama yang ingin saya ketahui adalah bagaimana pendapatnya soal “perang” argumentasi antara kelompok feminis dan kelompok Indonesia Tanpa Feminis. Saya juga ingin tahu apa pendapatnya soal orang-orang yang mencibir perempuan-perempuan yang bersekolah tinggi karena ujung-ujungnya mereka dianggap “semestinya” bertugas di ranjang dan dapur saja setelah menikah.

Tapi, saya yakin betul, sebelum sempat bertanya soal kedua hal tadi, saya bakal tak kuasa menahan diri untuk bertanya:
“Menurut Ibu, nih, lomba Kartini-Kartono yang digelar di sekolah setiap tanggal 21 April itu inspirasinya dari mana???”
Iya, iya, saya tahu, kok, lomba Kartini-Kartono yang mewajibkan setiap kelas mengirimkan 1 wakil perempuan dan 1 laki-laki untuk berjalan berpasangan di lorong sekolah dan dinilai para juri ini salah satunya bertujuan untuk mendekatkan siswa dengan budaya berbusana daerah.
Tapi, yang jadi pertanyaan saya: kenapa??? Kenapa—dari sekian banyak perlombaan di dunia ini—harus ada lomba Kartini-Kartono yang malah menimbulkan pertanyaan baru:
…Kartono itu siapa???
Ya, ya, ya, keheranan saya ini mengerucut ke pertanyaan yang lain: keberadaan Kartono. Kenapa, dalam lomba berpasangan ini, pasangan “Kartini” disebut “Kartono”? Bukankah suami Raden Ajeng Kartini bernama Raden Adipati Joyodiningrat? Kenapa kita—dengan tujuan menghargai suami beliau—tidak menyebut lomba ini sebagai lomba Kartini-Joyodiningrat?

Jadi, sungguh, selama bertahun-tahun, saya selalu penasaran siapa itu Kartono, atau mengapa kaum lelaki selalu disebut sebagai “Kartono”, dan mengapa ia harus dipasangkan dengan “Kartini” untuk berjalan di catwalk dadakan lorong sekolah.
Namun setidaknya, kepala saya pernah mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sendiri.

Pertama, saya rasa, karena Kartini adalah seorang perempuan Jawa tulen yang digambarkan dalam balutan busana daerah, orang-orang akhirnya memutuskan bahwa cara terbaik merayakan Hari Kartini adalah dengan menjadi Kartini itu sendiri. Atau, secara sederhana, kita diajak untuk cosplaymenjadi Kartini.
Kenapa harus begitu? Jawabannya bisa beragam, tapi saya rasa kalau lomba yang diadakan adalah lomba menulis kumpulan surat-surat dalam bahasa Belanda—seperti yang dilakukan Kartini—bakal jadi lebih merepotkan. Ya, kan? Ya, kan???
Nah, karena lomba yang dipilih adalah lomba berbusana daerah, tentu nggak mungkin kalau si pengguna pakaian ini disuruh nge-dance kayak peserta dance cover atau hanya sekadar disuruh selfie,lalu unggah ke Instagram sembari nge-tag 5 orang kawan. Duh, udah dandan full, loh, dia tu! Please, deh!
Maka, ide terbaik selanjutnya adalah membuat si peserta berbusana daerah ini untuk tampil elegan agar aura ke-Kartini-annya keluar. Nah, tentu saja, agar seimbang, si Kartini ini perlu diberi pasangan agar kesetaraan gender dalam “memamerkan” busana daerah lebih terwujud.

Kedua, permasalahan berikutnya muncul untuk menyebut pasangan Kartini KW: harus disebut siapakah dia?
Kembali ke pertanyaan saya sebelumnya, kenapa lomba Kartini-Kartono ini tidak disebut Kartini-Joyodiningrat, dengan mempertimbangkan nama sang suami?
Ah, tapi mau gimana lagi, Saudara-saudara, lah wong budaya kita ini budaya suka lupa, kok. Nyatanya, di banyak kolom komentar Instagram, netizen suka sekali berkata, “Maaf, sekadar mengingatkan,” demi melihat sesuatu yang mereka anggap aneh, salah, dan tidak lazim. Nah, kebayang, kan, kalau nama lomba ini adalah lomba Kartini-Joyodiningrat yang notabene lebih panjang, lebih ribet, dan tidak lebih “seirama” sehingga lebih susah dihafalkan?

Daripada menghadapi serangan netizen—atau orang-orang di sekolah—kalau suatu hari kita (hah, kita???) nggak sengaja salah menyebut nama Joyodiningrat, dipilihlah nama yang lebih ear-catching dan cocok disandingkan dengan nama Kartini.

Dasar orang Indonesia kelewat kreatif, nama Kartono pun dipilih. Bagaimanapun, nama ini serupa dengan Kartini, hanya diganti huruf vokalnya saja, yaitu dari menjadi o.
Tadinya saya bertanya-tanya lagi: kenapa huruf ini memberikan kesan “laki-laki”??? Kenapa namanya nggak Kartana saja???
“Kan dia orang Jawa, Li, jadi pakai o, deh. Kartono,” jawab teman saya, berusaha membantu. Saya ngangguk-ngangguk.
“Coba kalau Kartini dari tanah Ngapak,” celetuk saya kemudian, “kayaknya di sana, si Kartono-nya disebut jadi Kartana, deh.” Teman saya keselek, tertawa mengingat betapa sego (baca: nasi) dalam bahasa Jawa pun berubah jadi sega dalam bahasa Ngapak.

Ketiga, meski tokoh Kartono ini mungkin saja muncul dari ilmu cocoklogi dan ear-catching di atassaya akhirnya berjumpa dengan sebuah fakta mengejutkan: tokoh yang bernama Kartono ternyata benar-benar ada dan ia adalah kakak kandung Kartini.
[!!!!!!!!!111!!1!!!!1!!!]
Jadi, Kartono yang beneran ini bukanlah sekadar Kartono yang jadi pasangan para Kartini di agenda lomba Hari Kartini. Nama aslinya adalah Raden Mas Panji Sosrokartono dan berusia dua tahun lebih tua daripada Kartini.
Kalau Kartini dipingit sejak berusia 12 tahun, Kartono justru didukung untuk bersekolah tinggi hingga jauh ke Belanda. Nggak tanggung-tanggung, Kartono merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi poliglot (mampu bicara dalam banyak bahasa), yaitu 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku di Indonesia. Lulusan Leiden University di Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur ini bahkan pernah dipuji oleh Mohammad Hatta sebagai salah satu orang paling cerdas yang dimiliki Indonesia.
Yaaah, dengan kata lain, kalau Kartono masih hidup hingga hari ini, sepertinya ia akan banyak digilai cewek-cewek yang mendaku diri sebagai sapioseksual
Jadi, Saudara-saudara, di Hari Kartini tahun ini, misteri soal Kartono sudah lumayan terkuak, kan?
Ya iya, lah, memangnya hubungan asmaramu—selalu misterius dan penuh tanda tanya?
Idiiih, sorry lah, yaw.


Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Friday, April 19, 2019

Wahai Ujian Nasional, Sesakral Itukah Dirimu?

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.

Naif rasanya menganggap nilai dalam Ujian Nasional tidak penting Wahai Ujian Nasional, Sesakral Itukah Dirimu?

Naif rasanya menganggap nilai dalam Ujian Nasional tidak penting-penting amat. Meski, tidak semua hal bisa diukur hanya dengan angka-angka.
Saya punya seorang murid, cowok, sebut sana namanya HD. Dia sekarang kelas 6 dan lagi sibuk-sibuknya mempersiapkan Ujian Nasional. Nah, dari nilai Try Out, si HD ini selalu berada di urutan bawah. Sebab itulah, saya merasa punya kewajiban untuk berkunjung ke rumahnya untuk bersua dengan orang tuanya. Seperti menggali informasi bagaimana keseharian HD ini di rumah. Bagaimana model belajarnya, bagaimana pergaulannya, dan seterusnya.
Dari segi tingkah laku, si HD ini tidak ada masalah. Malah, dia termasuk salah satu murid paling manis, sopan, penurut, dan tidak suka neko-neko. Satu lagi, dia bahkan bisa ngomong bahasa Inggris dengan ngewes dan fasih betul. Tentang ngomong bahasa Inggris ini, malah dia yang jadi guru buat saya. Tapi ya itu tadi, soal nilai akademiknya seakan-akan membutuhkan pertolongan Tuhan.
Nah, kembali lagi, lantas apa yang kemudian saya obrolkan dengan orang tua si HD ini? Jadi, begitu sampai di rumah HD, saya melihat dia sedang bermain dengan dua orang temannya. Ia membawa sepotong kayu berbentuk senapan yang entah untuk apa. Mungkin untuk perang-perangan, pikir saya.
Begitu melihat saya memarkirkan motor di muka rumahnya, HD menghambur mendekati saya, dia tersenyum, lantas bersalam dan mencium tangan saya. Lalu pergi menemui teman-temannya lagi. Setelah pemanasan dengan bertanya kabar dan basa-basi lain, akhirnya orang tua HD—yang juga seorang guru, mulai bercerita. Bahwa HD ini memang tidak suka belajar, kecuali ia benar-benar menghendaki atau menyukai sebuah materi pelajaran tertentu.
Di keseharian, HD lebih suka bekerja aktif-kreatif. Seperti membuat jebakan tikus, membuat sesuatu dari barang-barang bekas, membetulkan perkakas rumah yang rusak. Termasuk momong kedua adiknya yang masih kecil-kecil.
Ketika orang tua HD ini menjelaskan perihal pentingnya belajar untuk Ujian Akhir, supaya mendapatkan nilai bagus, HD malah mengajak orang tuanya berdebat. Kurang lebih begini percakapan HD dengan orang tuanya….
“Kamu itu belajarnya belum serius, Nak, buktinya nilai-nilaimu masih kurang.”
“Saya sudah serius, Ma, buktinya saya sekolah dari pagi sampai sore. Kadang, malam masih disuruh belajar.”
“Lha buktinya, nilaimu masih di bawah lima koma.”
“Memangnya kenapa kalau nilaiku jelek, Ma?”
“Ya kalau nilaimu jelek, kamu bisa tidak lulus. Kalaupun lulus, kamu tidak bisa diterima di sekolah yang bagus.”
“Oh, cuma gitu aja. Nggak papa, saya kan masih bisa mondok,” balas HD tanpa beban.
Orang tua HD juga bercerita, suatu ketika HD pernah pulang sekolah sambil menangis. Ketika ditanya kenapa, si HD bilang, bahwa dia sakit hati karena diejek temannya sebagai siswa bodoh. “Padahal kan, saya tidak bodoh, Ma. Saya bisa bikin karya ini… karya itu… sedangkan dia nggak bisa. Waktu kerja kelompok bikin karya, saya kerja, dia cuma diam saja. Lalu siapa yang bodoh?” Ujar HD sambil sesenggukan.
Sampai di sini, saya ingat kata-kata Einstein yang kurang lebih begini: adalah tidak adil menilai seekor ikan dari kepandaiannya memanjat pohon.
Saya pulang dari rumah HD terus mengingat-ingat bahwa waktu Ujian Nasional tinggal hitungan pekan, bahkan hari. Dan saya menggerutu pada diri saya sendiri: apakah Ujian Nasional, nilai-nilai, angka-angka, sesakral itu?
Saya jadi ingat zaman saya SD dulu. Zaman saya namanya Ebtanas, zaman sekarang namanya Ujian Nasional. Zaman saya, Ebtanas hanyalah sebuah kegiatan tahunan yang harus dilewati, hanya harus dilewati. Tidak ada bedanya dengan ulangan atau latihan harian. Hanya saja, ketika Ebtanas, terdapat sebuah papan tulis yang dipajang di tengah lapangan dengan tulisan kapur: HARAP TENANG, ADA UJIAN.
Zaman sekarang, ujian semacam itu telah menjadi resepsi sakral saban akhir tahun. Resepsi yang butuh latihan berbulan-bulan yang disebut Try Out. Resepsi yang seakan-akan menentukan hidup dan mati. Bahkan, seandainya hari itu kau harus opname di rumah sakit, maka kau harus melaksanakan ujian di atas ranjang. Sesakaral itukah? Iya.
Buktinya adalah, jika waktu ujian tertera dua jam, jam 10.00 – 12.00, misalnya. Maka dalam waktu dua jam itu, kau harus duduk manis di bangkumu. Kau tak boleh ke mana-mana sebelum waktu selesai, kecuali harus pergi ke kamar mandi.
Jadi, jika kau berhasil menyelesaikan soal ujian dalam waktu 15 menit. Maka waktu 1 jam 45 menit sisanya, kau harus jadi patung di bangkumu. Tak boleh tidur. Apalagi gaduh. Masih tak percaya kalau Ujian Nasional itu sakral?
Kalau masih tak percaya, coba saja ketika waktu ujian masih berlangsung dan kau dengar kumandang azan zuhur, kau pamit ke pengawas. Bilang begini, “Pak, Buk, saya sudah dengar azan dhuhur, bolehkan saya izin buat salat zuhur dulu?”
Kira-kira, apa yang terjadi? Apakah kau akan diizinkan? Bisa jadi kau dizinkan. Tapi jelas setelah itu, kesalihanmu akan menjadi perdebatan panjang. Lantas, nama gurumu, nama sekolahmu, bakal jadi taruhannya.
Zaman saya, Ebtanas ya Ebtanas aja, tak perlu Try Out-Try Out-an. Tak butuh latihan soal tiap pekan. Berhadapan dengan soal-soal ujian tiap hari itu membosankan, tahu! Berhadapan dengan rumus-rumus tiap pekan itu sungguh mengerikan. Siapa coba yang mampu memahami ini? Jelas para guru dan orang tua memahami ini, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak. Sebab, Ujian Nasional ini teramat sakral.
Jangan berani coba-coba. Jangan berani main-main. Begitu nilaimu jelek, di bawah standar kelulusan. Maka koitsudah namamu, nama orang tuamu, nama gurumu, nama sekolahmu.
Sebagai seorang guru, berkali-kali saya menegaskan ke anak-anak, bahwa nilai itu bukanlah hal utama. Bukanlah sesuatu yang penting. Sebab nilai bagus bukanlah jaminan keberhasilan dalam mengarungi kehidupan (aduh, duh, bijaknya).
Tapi, berkenaan dengan Ujian Nasional ini, nasehat saya kepada anak-anak ada sedikit ralat, jadi begini: Nilai memang tidak penting, Nak, tapi kalau sampai nilaimu jelek, habislah kau. Saya menyampaikan itu sambil membayangkan berita-berita yang pernah saya baca di media sosial. Perihal murid-murid yang depresi karena tidak lulus ujian, bahkan beberapa dari mereka ada yang sampai nekat mengakhiri hidupnya.
Karena apa? Karena tidak lulus ujian. Kenapa tidak lulus ujian? Karena nilainya jelek. Nah lho! Apa iya harus saya koarkan lagi ke bocah-bocah, bahwa nilai itu tidak penting.
Kalau sudah begitu, siapa yang mau bertanggung jawab? Orang tua? Guru? Sekolah? Dinas pendidikan? Menteri Pendidikan? Pak Presiden?
Adalah klise di atas klise membahas sistem pendidikan kita yang masih saja memandang keberhasilan dari angka-angka. Begitu kuno. Begitu konvensional. Tapi ya memang demikian adanya. Lantas, mengapa bisa demikian? Bisa bermacam-macam sebabnya. Bisa saja para pemangku kebijakan di area pendidikan kita merupakan para sesepuhyang nuwun sewurapati milenial dalam berbagai hal. Atau bisa juga berkaitan dengan “proyek birokrasi” dan lain-lain, mengingat banyak sekali yang terlibat dalam agenda tahunan ini. Entahlah.
Kadang, saya membayangkan diri saya sebagai murid yang sedang dihadapkan pada Try Out dan persiapan ujian yang begitu hiruk-pikuk dan berkepanjangan. Tiada hari tanpa pilihan ganda. Tiada hari tanpa uraian. Tiada hari tanpa menyilang dan mengurek-urek jawaban. Tiada hari tanpa memelototi teks-teks mungil dalam lembar kertas buram. Dari waktu ke waktu.
Oh Mai Gat, akankah saya bertahan? Akankah kelopak mata saya tidak bengkak? Akankah rambut saya tidak botak? Akankah kepala saya tidak meledak?
Semoga Tuhan menyelamatkan kalian semua dari ujian ini. Ya, Ujian Nasional ini.

Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Thursday, April 18, 2019

Rakyat yang Baik, Dapat Pemimpin yang Baik?

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.



Besarkan hatimu saat merayakan Pemilu! Apabila kamu merasa baik, pasti Tuhan akan memberimu pemimpin yang baik. Bukankah Allah telah berfirman: "Golongan yang baik adalah milik golongan yang baik pula..." (QS. An-Nuur: 26).
Terkecuali, kita sendiri menyangka menjadi bagian rakyat yang tidak baik (?) Dalam hadits qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah dikatakan: Sesungguhnya Allah berfirman: "Aku bersama dalam sangkaan hamba kepada-Ku. Jika ia berbaik sangka padaku, maka baik juga padanya. Jika ia berburuk sangka kepadaku, maka buruk juga untuknya" (HR. Ahmad).
Pengertiannya, jika kita memiliki pikiran baik dalam merayakan pesta demokrasi maka hasilnya juga baik. Akan tetapi jika berpikiran buruk terhadap penyelenggaraan Pemilu maka nasib kita juga akan buruk. Besarkan hati kita! Toh hasil akhir pada dasarnya semua yang menentukan adalah Allah Swt.
Allah telah berfirman: "Dan Allah berkuasa (memenangkan) terhadap urusan-Nya tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti" (QS. Yusuf: 21). Jadi, seandainya pilihan kita kalah,  asalkan kita berusaha menjadi rakyat yang baik maka yakinlah kita akan dipimpin orang baik!
Terkecuali sebagai rakyat, kita sendiri mulai bertindak tidak baik dan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti disebutkan hadits Rasulullah dalam kitab Kasyful Ghummah. Rasulullah Saw bersabda: "Sebagian tanda-tanda dari kehancuran yang akan terjadi pada umatku adalah: jika amanat sudah digadaikan (dengan imbalan), zakat dirampas (oleh yang bukan berhak menerimanya), muncul seorang penggembala lalu dinobatkan sebagai pemimpin." 
Apakah kesalahan-kesalahan yang disinggung Rasulullah itu telah kita lakukan? Silahkan kita jawab sendiri! Pada dasarnya jika kita ingin memiliki pemimpin yang baik, kita sebagai rakyat juga harus baik pula.
Dulu, di zaman dinasti Mu'awiyah, banyak rakyat yang mencaci kebijakan Mu'awiyah ketika mengangkat Yazid sebagai putra mahkota. Yazid dikenal memiliki peringai buruk, sehingga banyak pihak yang mengkritik. Dalam menyikapi protes rakyatnya itu, Mu'awiyah menjawab:
"Jika kalian menginginkan aku mengeluarkan kebijakan sebagaimana Abu Bakar dan Umar dalam mengangkat khalifah: Abu Bakar menunjuk Umar, dan begitupun Umar memilih menetapkan tim formatur, termasuk di antaranya putra beliau bernama Abdullah, maka kalian juga seharusnya hidup sesuai dengan kehidupan sahabat di masa Abu Bakar dan Umar!" 
Ada pula riwayat yang menyebut pernyataan Mua'wiyah sebagai berikut: "Jika kalian merindukan kepemimpinan seperti yang dijalankan Abu Bakar dan Umar, maka sekarang kalian juga harus hidup mengikuti cara sahabat di masa beliau-beliau itu!"
Walhasil, pemimpin yang baik lahir dari rakyat yang baik pula. Sebaliknya pemimpin yang buruk muncul dari kondisi rakyat yang buruk pula. Jadi, sekarang ini kita merasa sudah menjadi rakyat yang baik atau belum?

Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Tuesday, April 16, 2019

Jelang Pemilihan Pengganti Umar bin Khattab

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.



Umar bin Khattab adalah pemimpin Islam yang mengenalkan cara pemilihan pemimpin (khalifah) melalui pengambilan suara terbanyak. Gagasan ini beliau sampaikan pada tahun terakhir kekhilafahan, guna menentukan siapa pemimpin pengganti beliau.
Sebetulnya, dalam pandangan pribadi Umar bin Khattab sudah dipetakan dan diperhitungkan siapa yang layak memimpin umat Islam setelah dirinya. Kandidat terkuat ialah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Tapi, jika beliau mengikuti jejak Abu Bakar dengan cara menunjuk pemimpin penggantinya, maka hal itu sulit dilakukan. Sebab, Utsman maupun Ali adalah dua tokoh kepercayaan Rasulullah untuk mencatat firman-firman Allah.
Atas dasar pertimbangan itulah beliau menunjuk tokoh-tokoh di antara sahabat Nabi yaitu: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaid, Zubayr bin al-Uwam, Sa'd bin Abu Wa'i. Umar tidak melibatkan dalam tim formatur itu, Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana beliau tidak menunjuk Said bin Zaid bin Amr bin Nafil karena alasan masih sepupu khalifah sendiri. Padahal Said bin Zaid adalah salah satu dari sepuluh yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah. 
Namun, oleh sahabat yang lain, dimintakan satu perwakilan dari khalifah Umar. Lalu disepakatilah Abdullah bin Umar: Dengan catatan ia memiliki hak suara tapi tidak memiliki hak untuk dipilih.
Umar bin Khattab berpesan kepada mereka: "Aku tidak menerima perintah untuk menunjuk penggantiku baik di waktu  hidupku maupun matiku (dengan cara berwasiat). Namun yang pasti aku akan mati. Maka untuk kelangsungan masa depan umat Rasulullah Saw, aku kumpulkan kalian untuk menentukan masa depan kalian."
Umar bin Khattab tampaknya sudah memprediksi proses pemilihan khalifah penggantinya akan berlangsung ketat dan alot. Untuk itu, beliau berwasiat agar Suhaib bin Sinan al-Rumi berkenan memimpin shalat jamaah dan berdoa selama tiga hari, sesudah wafat beliau dan sampai ada kesepakatan siapa khalifah pengganti beliau.
Ramalan Umar itu terbukti. Sahabat-sahabat yang ditunjuknya membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan tugas memilih khalifah ke-3. Pada hari pertama dan kedua, dari 6 orang yang telah ditunjuk semua hadir, terkecuali Talhah bin Ubaid. Sahabat yang lain sempat ragu dan bertanya-tanya tentang sikap Thalhah. Tapi keragu-raguan itu akhirnya terjawab sesudah Thalhah hadir di tengah-tengah mereka.
Mula-mula dari tokoh yang hadir, tiga di antaranya memilih Zubair. Tapi Zubair menolak dan melimpahkan tiga suara yang didapatnya kepada Ali. Menantu Rasulullah yang rendah hati inipun menolak dan melimpahkan suara yang diperolehnya kepada Sa'ad. Tapi lagi-lagi karena ketawadhuan Sa'ad beliau malah "melemparkan" suaranya kepada Abdurrahman bin Auf.
Hari pertama rapat menghasilkan keputusan yang belum bulat sebab di antara peserta justru memilih tokoh yang tidak termasuk dalam tim formatur yang telah disepakati.
Pada hari kedua, tim formatur menghadap Abdurrahman bin Auf untuk menyampaikan hasil keputusan sementara mereka. Tapi Abdurrahman sendiri ketika dikonfirmasi menolak penunjukan dirinya menjadi khalifah. Beliau justru berkata: “Di antara kita yang lebih berhak menjadi khalifah ialah Utsman dan Ali." 
Tim formatur tak puas dengan jawaban Abdurrahman. Sa'ad bin Abu Wa'y selaku juru bicara mendesak agar Abdurrahman memilih salah satu di antara dua tokoh: Utsman atau Ali. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya Abdurrahman memilih Utsman bin Affan. Sekalipun sudah ada penegasan Abdurhman tapi ada yang mempertanyakan bagaimana dengan hak suara Thalhah yang belum juga hadir sampai hari kedua rapat?
Untunglah pada hari ketiga Thalhah yang sudah dinanti-nanti hadir dalam forum musyawarah sahabat-sahabat Nabi. Ketika ditanya pilihannya, beliau spontan menjatuhkan pilihan kepada Utsman bin Affan. Dengan demikian, suara terbanyak telah menunjuk Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab. Pemilihan ini diikuti dengan pembaitan yang dilakukan oleh 50 sahabat terkemuka kepada khalifah terpilih.
Demikianlah kisah pertamakali pemilihan secara langsung al-khalifatur-rasyidun ke-3 dalam sejarah Islam. Walaupun berjalan alot, tapi demi kepentingan bersama, suksesi kepemimpinan dapat dilakukan secara aman dan damai. Semoga kisah ini memberikan inspirasi bagi umat Islam Indonesia dalam menyalurkan hak suara pada Pemilu 2019.

Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Sunday, February 24, 2019

Mengenal Fenomena Suicide Obsession yang Mulai Marak

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.

Mengenal Fenomena Suicide Obsession yang Mulai Marak Mengenal Fenomena Suicide Obsession yang Mulai Marak


Pada bulan Maret 2017, jagad maya tanah air dibikin heboh oleh ulah seseorang bernama Indra. Melalui livestreaming di Facebook, cowok yang tinggal di Jakarta Selatan ini menyampaikan pesan-pesan terakhir kepada istrinya yang selingkuh, lalu terjadilah peristiwa gantung diri secara live. Media pun heboh memberitakan kejadian yang tidak lazim tersebut.
Ya. Kasus bunuh diri live memang sangat aneh. Namun praktik bunuh dirinya belakangan ini semakin marak. Pelakunya bukan hanya orang biasa yang tanpa masa depan, tapi orang-orang top dunia.  Seorang Witney Houston, yang konon bunuh diri karena tidak tahan menahan beban hidupnya sebagai Lady Star (Diva), salah satu penyanyi pop paling populer di dunia saat itu. Demikian juga penyanyi top nyentrik Michael Jackson yang konon minta disuntik mati oleh dokternya karena problem kehidupan glamour dan gemerlap yang membuatnya depressi.
Juga tidak kurang Robbie William, Kurt Cobain, Chester Bennington, Kate Spade, Anthony Bourdain, dan baru-baru ini Tomy Page, serta masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang terkenal, sukses, dan bergelimang harta, namun kenapa mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis?
Percaya atau tidak, fenomena "suicide obsession" (kecenderungan ingin bunuh diri) masyarakat  modern semakin meningkat. Bahkan bukan hanya kecenderungan, tapi benar-benar melakukan bunuh diri. Jumlahnya pun dari waktu ke waktu terus meningkat, termasuk di negeri kita sendiri, Indonesia.
Data dari organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organization) dan International Association of Suicide Prevention (IASP) mencatat bahwa lebih dari 1 juta orang meninggal dunia karena bunuh diri setiap tahunnya. Diprediksi, pada tahu 2020, setiap 20 detik 1 orang akan meninggal karena bunuh diri. 
Ini bukan cerita fiksi, tapi benar-benar fakta. Bunuh diri merupakan masalah besar di belahan dunia saat ini. Menurut Prof R Irawati Ismail, SpKJ(K), MEpid dari Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Departemen Psikiatri FKUI RSCM, bunuh diri adalah masalah kesehatan yang serius. 
Tak terkecuali, suicide obsession akhir-akhir ini justru banyak melanda kalangan muda, bahkan anak-anak dan remaja. Di negara maju seperti Amerika, bunuh diri menjadi penyebab kematian terbesar kedua pada remaja usia 12 - 19 tahun, dan menjadi urutan ke 11 penyebab kematian utama pada anak-anak berusia 5 - 11 tahun. 
Gaes. Gimana perasaan kamu setelah mengetahui data di atas? Merasa merinding atau biasa aja? Kalau merinding-ngeri, berarti kamu masih waras. Masih memiliki "sense" bahwa hidup adalah momentum yang sangat berharga dan patut disyukuri. Kalau merasa biasa saja, mungkin kamu perlu waspada, jangan-jangan punya potensi terhadap gejala itu. Tapi semoga sih tidak yah. Amin.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apa sih yang menjadi sebab seseorang ingin bunuh diri? Nah, silahkan simak uraian di bawah ini.
Pertama, merasa tidak punya harapan (hopeless) atas hidupnya. Ini adalah gejala paling umum pada orang-orang yang menderita depresi. Orang-orang yang memikirkan tentang bunuh diri sering merasa terjebak atau tidak memiliki harapan terhadap suatu situasi. Perasaan hopeless inilah yang membuat orang menjadi putus asa lalu ingin mengakhiri hidupnya.
Kedua, munculnya perasaan sedih dan moody yang ekstrem. Banyak orang-orang yang pada akhirnya bunuh diri gara-gara diputus oleh sang pacar, atau dikhianati pasangan, misalnya. Atau sedih menanggung malu karena hamil di luar nikah. Kondisi sedih yang mendalam pada waktu yang lama dapat membuat stres, lalu depressi dan akhirnya ingin bunuh diri.
Ketiga, masalah tidur. Tidur merupakan salah satu media otak untuk memperbaiki kerusakan dan melancarkan fungsi. Orang yang mengalami gangguan tidur  berkepanjangan dapat mengalami cedera otak yang tidak dapat diperbaiki. Dalam kondisi inilah orang bisa saja muncul rasa ingin bunuh diri.
Keempat, perasaan terisolasi. Orang-orang yang berencana untuk bunuh diri muncul perasaan sebagai pribadi yang "paling sial" dan terisolasi dari kehidupan lingkungan. Lalu mereka menarik diri dari kontak sosial dan ingin sendirian. Mereka kemudian sering melakukan hal-hal yang dapat menyakiti dirinya sendiri.
Dari penjelasan di atas, faktor yang paling dominan atas keinginan bunuh diri adalah sikap hopeless dan putus asa dalam menghadapi persoalan hidupnya. Kedua perasaan tersebut lebih karena minimnya pegangan hidup atas kebermaknaan hidup, baik nilai-nilai sosial maupun agama.
Dalam banyak teori, munculnya putus asa dan hopeless disebabkan oleh keringnya spiritualitas yang banyak dialami oleh manusia modern. Kehidupan hedonistis, konsumeristis, materialistis, dan sikap yang jauh dari nilai-nilai dan transendensi diri memicu munculnya perasaan alienasi (keterasingan), dan akhirnya ingin bunuh diri saat merasa tidak mampu menanggung beban masalah.
Bunuh Diri Haram
Bagaimana Islam memandang perilaku bunuh diri? Sebenarnya kita semua sudah tahu bahwa bunuh itu perbuatan dilarang yang hanya dilakukan oleh para pengecut. Anugerah hidup di dunia terlalu besar jika diakhiri dengan membunuh diri sendiri. Betapa banyak orang yang ingin tetap hidup, bahkan ingin hidup selamanya. Makanya sangat naif jika ada orang yang bunuh diri karena tidak mampu menghadapi masalahnya.
Dalam Islam, bunuh diri, menurut ulama termasuk kategori dosa besar, sejajar dengan membunuh orang lain tanpa hak. Perbuatan ini menunjukkan sikap tidak sabar menghadapi ujian, putus asa, dan mendahului takdir Allah. Setiap orang yang lahir di dunia sudah memiliki takaran qadla dan takdirnya. Sungguh Allah sangat menyayangi para hamba-Nya, sehingga Dia melarang perbuatan bunuh diri.
Dalam QS: An-Nisa: 29 disebutkan dengan tegas larangan bunuh diri. "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allâh adalah Maha Penyayang kepadamu."
Beberapa ulama tafsir seperti Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Imam Al-Baghawi, secara umum menyimpulkan bahwa bunuh diri haram hukumnya dan statusnya sama dengan membunuh orang lain. Karena sesama muslim ibarat satu tubuh, yang saling menopang, dan tidak boleh saling menyakiti.
Dalam ayat yang lain juga disebutkan: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan’ (QS: Al-Baqarah:195).
Demikian juga banyak sekali keterangan dari hadits Nabi yang menjelaskan bahaya bunuh diri dan ancaman bagi pelakunya. Diantaranya, ancaman tidak masuk surga. Jika dia kafir, maka tidak akan masuk surga selamanya. Namun jika dia Mukmin, maka dia tidak akan masuk surga dari awal, atau tidak masuk surga dengan derajat tertentu.
Rasulullah saw bersabda, “Dahulu ada seorang laki-laki sebelum kamu yang mengalami luka, lalu dia berkeluh kesah, kemudian dia mengambil pisau, lalu dia memotong tangannya. Kemudian darah tidak berhenti mengalir sampai dia mati. Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga baginya’. (HR: Al-Bukhari)
Dengan juga orang yang membunuh dirinya diancam akan disiksa dengan jenis perbuatannya ketika bunuh diri, sebagaimana hadits:
Nabi bersabda: "Barang siapa bersumpah dengan agama selain Islam dalam keadaan dusta, maka dia sebagaimana yang dia katakan. Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, dia akan disiksa dengan sesuatu itu dalam neraka Jahannam. Melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Dan barangsiapa menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran, maka itu seperti membunuhnya”. (HR: Al-Bukhari). 
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang bunuh diri itu masuk kategori:
Pertama, golongan orang yang kufur nikmat. Anugerah berupa kehidupan adalah momentum terbaik untuk beramal shaleh. Dengan bunuh diri berarti menyia-nyiakan karunia terindah. Hanya karena dikuasai perasaan malu, terasing, tidak mampu, marah pada diri sendiri, dan lain-lain, lalu harus mengakhir hidup.
Kedua, golongan orang yang putus asa. "Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. 12:87). Sebesar apapun beban berat hidup ini, sebesar apapun dosa yang kita lakukan, maka Allah lah sebagai tempat berharap. Jangan pernah berkata: Saya sudah tidak dapat bertahan lagi dan menanggung beban ini!
"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung." (QS: 9: 129).
Sayangnya, orang yang sudah terlanjur bunuh diri tidak bisa hidup kembali, dan harus menanggung beban dosa yang tiada tara. Wallahu a'lam. 

Oleh: Thobib Al-Asyhar
(Kabag Ortala, Kepegawaian, dan Hukum; penulis buku; dosen SKSG UI Salemba)

Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Monday, February 4, 2019

40 Jam Kerja dalam Satu Minggu bagi Guru, Adilkah?

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.

 pemerintah menetapkan aturan Pemenuhan Beban Kerja Guru dalam Peraturan Menteri Pendidika 40 Jam Kerja dalam Satu Minggu bagi Guru, Adilkah?


Untuk memenuhi beban kerja guru 40 jam kerja dalam satu minggu, pemerintah menetapkan aturan Pemenuhan Beban Kerja Guru dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. 

Download Permendikbud No 15 Tahun 2018
Dalam pengawasannya, setiap sekolah diwajibkan untuk menggunakan alat fingerprint untuk memastikan bahwa si guru tetap berada di sekolah selama pelaksanaan beban kerja tersebut.
Adilkah?
Secara umum, beban kerja seorang pegawai baik pegawai pemerintahan maupun pegawai swasta (perusahaan) selama 40 jam kerja dalam satu minggu. Jadi, beban kerja guru selama 40 jam kerja ini tentunya bukan sebuah beban kerja baru di dunia kerja. Namun jika melihat kondisi real di lapangan, beban kerja 40 jam kerja dalam satu minggu ini memberikan tekanan bagi seorang guru. Karena beban kerja ini berkaitan dengan penghasilan (kesejahteraan) yang harus diterima guru. Selain itu, jika dilhat dari tugasnya, melaksanakan tatap muka selama 5 jam tidak bisa disamakan dengan tugas pegawai lain (misalnya berhubungan dengan alat-alat/ kerta dan pena) selama 5 jam.
Oleh karena itu, berikut beberapa opini yang berkaitan dengan beban kerja guru selama 40 jam kerja dalam satu minggu untuk dikaji ulang.
1. Dari Segi Kegiatan Guru
Satu hal yang tersirat dari peraturan ini, selama ini guru seolah-olah hanya melaksanakan kegiatan belajar mengajar (tatap muka) di depan kelas tanpa melakukan kegiatan lainnya. 
Guru datang ke sekolah pukul 07.00 dan pulang pukul 12.40 tanpa ada kegiatan lain yang terkait proses belajar mengajar setelah pulang sekolah. Kenyataannya, setelah pulang sekolah, pada umumnya guru juga melakukan kegiatan lain yang dimaksudkan dalam peraturan pemenuhan beban kerja guru. 
Sebagai contoh, secara umum, guru membawa tugas-tugas siswa ke rumah untuk diperiksa dan dinilai. Termasuk juga untuk merencanakan kegiatan besok hari di kelas, guru pada umumnya melakukan persiapan di rumah. Hasilnya, apakah guru sebelum penerbitan peraturan ini tidak berhasil? 
2. Dari Segi Waktu
Jika mengikuti pola Enam Hari Sekolah dalam satu minggu, maka guru harus masuk kerja selama enam hari (senin-sabtu) dan beristirahat hanya di hari minggu. Sementara pegawai pada umumnya masuk kerja 5 hari kerja. Ini "memaksa" guru untuk tidak memiliki kehidupan sosial. 
Sebagai contoh, sebagai negara yang kaya akan adat istiadat, pada umumnya guru juga harus mengikuti adat di daerah masing-masing. Namun dengan keadaan ini, guru tidak dapat mengikuti adat (misalnya adat pernikahan) keluarga, teman, tetangga, bahkan untuk dirinya sendiri. 
Belum lagi jika dikaitkan dengan anak sendiri, guru mendidik anak orang lain di sekolah selama 8 jam, namun anak sendiri tanpa didikan dari dirinya. Apakah pernyataan ini berlebihan? Jawabannya berkaitan dengan kesejahteraan guru tersebut.
3. Dari Segi Kesejahteraan
Seperti disinggung sebelumnya, pelaksanaan beban kerja guru ini berkaitan dengan kesejahteraan guru. Sebagai tenaga profesional, guru yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak mendapat tunjangan profesional sebesar satu bulan gaji setiap bulan.
 Dengan catatan, jika beban kerja guru tidak terlaksana (3 hari dalam satu bulan), maka guru tidak berhak atas tunjangan profesional tersebut. Bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik, ini tentunya mewajibkan (terpaksa)  guru untuk melaksanakan beban kerja demi pendapatan tersebut. Hasilnya, menjadikan guru seorang yang materialistis (bisa bertentangan dengan prinsip guru).
Namun jika dikalkulasikan, misalnya seorang guru dengan gaji Rp. 3.500.000,- perbulan (untuk golongan IV) maka dia berhak mendapatkan tambahan gaji satu bulan, sehingga gaji guru tersebut Rp. 7.000.000,- per bulan. Lalu apakah ini cukup besar? Coba dibandingkan dengan tenaga profesional lainnya dengan beban kerja 40 jam kerja perminggu, apakah gaji tersebut seimbang?
Lalu, bagaimana dengan guru yang belum memiliki sertifikasi atau guru di sekolah swasta atau yang masih berstatus honor daerah atau sekolah yang memiliki penghasilan sekitar Rp. 800.000 - Rp. 1.500.000 perbulan, apakah beban kerja guru ini cukup adil?
***
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa banyak guru di daerah yang merasakan tekanan besar dalam melaksanakan beban kerja ini. Tekanan ini justru membiaskan tugas utama guru sebagai ujung tombak masa depan bangsa ini.
Sekali lagi ini hanya opini dari beberapa tanggapan teman guru yang ada di daerah. Kiranya perlu perhatian pemerintah, atau stimulus  dari pemerintah untuk meringankan guru memahami beban kerja guru selama 40 jam kerja dalam satu minggu ini.
Salam Pendidikan

Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.